Peran Militer dalam Konflik Masa Orde Baru

A. Kedekatan Sipil-Militer
Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dekade memberi warna teramat tebal bagi perjalanan sejarah politik di Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan berikut realisasi program merupakan lembar sejarah yang tak dapat dipandang remeh. Harus diakui Orde Baru telah mencatat prestasi besar dalam beberapa segi. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri pula bahwa di sisi lain Orde Baru juga meninggalkan cukup banyak kenangan buruk. Tindakan represif dan otoriterisasi pemerintah sipil yang memposisikan militer sebagai “kepanjangan tangan” penguasa saat itu memposisikan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang tidak mempunyai suara.
Militer dan sipil pada masa Orde Baru saling mendukung sebagai mitra. Tentara berdwifungsi sebagai militer yang juga berpolitik. ABRI pada era itu menjadi kekuatan dominan. Banyak orang yang menuduh bahwa Dwifungsi ABRI hanyalah dalih untuk menempatkan anggota militer pada kedudukan strategis di pemerintahan. Ada pula yang berujar bahwa Dwifungsi ABRI tidak mempunyai landasan konstitusional dan bertentangan dengan demokrasi. Demikian pendapat dari dalam negeri. Sementara itu, pihak luar negeri menilai bahwa di Indonesia tidak ada demokrasi. Yang berkuasa di Indonesia adalah rezim militer dengan alasan banyaknya anggota ABRI yang menduduki pucuk pimpinan, baik di pusat maupun daerah. Berdasarkan dominasi militer pada era itu, ada yang berpendapat bahwa bukan ABRI saja yang dapat mengatasi masalah-masalah yang rentan terjadi di NKRI. Kecenderungan ABRI untuk menggunakan security approach kadang-kadang justru memperuncing konflik, bukan meredakan.

B. Koflik Era Orde Baru
Kepenguasaan Orde Baru banyak melahirkan konflik. Akan tetapi, segala permasalahan yang timbul dapat diredakan secara paksa oleh pemerintah melalui kekuatan militernya. Berikut beberapa konflik yang menjadi catatan buram kesejarahan rezim Orde Baru.

1. Peristiwa “Malari”
Peristiwa ini terjadi ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Kedatangan PM itu disambut dengan aksi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa. Usai kunjungan di Indonesia, Tanaka diantar ke pangkalan udara dari Gedung Bina Graha dengan helikopter. Penggunaan sarana transportasi itu menandakan bahwa suasana Jakarta belum stabil. ABRI sebagai bagian dari unit ketentaraan menganggap bahwa unjuk rasa, demonstrasi, dan kerusuhan bukan sebagai bagian tak terpisakan dari hak-hak asasi rakyat untuk melakukan aspirasi politik, melainkan suatu hal yang perlu ditindak. Yang membedakan, jika unjuk rasa tidak dianggap negatif dan tak perlu dilengkapi pengamanan militer, maka demonstrasi dan kerusuhan massa adalah sebaliknya. Tidak heran jika bentrokan fisik sering terjadi jika militer berhadapan langsung dengan para demonstran. Mereka yang berdemonstrasi tidak dianggap sebagai bagian dari anak-anak bangsa, tetapi dianggap sebagai musuh yang yang harus diamankan. Doktrin militer “to killed or to be killed” tertanam kuat dalam kepribadian perwira militer. Patut disayangkan jika doktrin itu tidak hanya diterpakan terhadap aksi separatis, tetapi juga kepada anak bangsa yang berhak mendapat pengayoman dan didengar aspirasinya. Setelah terjadi demonstrasi yang disertai dengan kerusuhan dan penjarahan, maka situasi kota Jakarta menjadi tak terkendali. Soemitro sebagai Pangkomkabtib diberhentikan. Asisten pribadi presiden turut dibubarkan. Sutopo Yuwono sebagai kepala BAKIN juga dicopot dari jabatan, digantikan oleh Yoga Supomo. Korban meninggal tercatat sejumlah 11 orang, 300 luka-luka, 775 ditahan. Kerugian material diketahui ada 807 mobil dan 187 motor yang dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak tindakan represif yang dijalankan pemerintahan Orde Baru.

Latar Belakang:
Penentangan mahasiswa atas penanaman modal asing.
Dalam memori Jenderal Yoga, peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi akhirnya bermuara kepada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Stimulan pertama terjadi di kampus UI (13-16 Agustus 1973) dalam acara diskusi dengan pembicara Soebadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan T.B. Simatupang, disusul dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan Petisi 24 Oktober. Kedatangan ketua IGGI, J.P. Pronk menjadi momentum tepat untuk mendeklarasikan penentangan penanaman modal asing. Semua aktivitas itu mencapai puncak dengan kedatangan PM Tanaka. Ketidaksenangan kaum intelektual terhadap asisten pribadi Presiden Soeharto (Ali Moertopo), Soedjono Hoemardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Persaingan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.

Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH dan Heru Cahyono, terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo. Ali Moertopo dan Hoemardani membina orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Melalui organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten.
Sebaliknya dalam “dokumen” Ramadi diungkapkan rencana Soemitro untuk menggalang kekuatan di kampus-kampus. Ada jenderal berinisial “S” yang akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar April-Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus. Presiden bakal terkudeta. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan inisial “S” itu tentu tertuju kepada Jenderal Soemitro.

2. Kasus Tanjung Priok (7 September 1984)
Peristiwa ini bermula ketika personel tentara bernama Hermanu dan Samin menutup poster-poster yang tertempel di dinding Mushola as-Sa’adah. Salah satu di antara mereka memasuki mushola tanpa melepas sepatu dan bertindak menyiram poster dengan air got. Akibatnya, Hermanu dikeroyok massa di sekitar Pasar Koja (Jakarta Utara). Sepeda motor yang ia kendarai dibakar. Seketika itu, empat orang dikenai penahanan sementara. Beberapa hari setelahnya, massa mendatangi Polres Jakarta Utara, meminta penglepasan empat rekan mereka, tetapi kedatangan massa dihadang aparat dengan empat panser. Aparat berusaha membubarkan massa. Namun, rakyat justru mencaci-maki petugas. Terjadilah penembakan yang menewaskan beberapa orang. Versi militer menyebut bahwa korban tewas berjumlah 10 orang, sementara Lembaran Putih 22 menyebutkan sejumlah 40 orang. Lain lagi dengan versi Asia Watch Report. Laporan itu menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak 200-600 orang.

3. Kasus DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh
Pada tahun 1989, Aceh kembali bergolak dengan aksi GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pihak pemerintah dan aparat menamai gerakan itu sebagai Gerombolan Pengacau Liar (GPL) atau Gerombolan Bersenjata Pengacau Liar (GBPL). Pemerintah akhirnya melakukan kebijakan dilaksanakannya beberapa operasi militer guna kembali mengamankan Aceh. Selama Aceh ditetapkan sebagai DOM, banyak terjadi kasus pelanggaran berat terhadap warga setempat baik berupa penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, penghilangan orang, pelecehan seksual, maupun pemerkosaan. Masyarakat yang paling banyak menjadi korban adalah mereka yang bertempat tinggal di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Aceh Timur. Hampir semua rangkaian kekerasan yang terjadi di Aceh tidak diproses dengan hukum yang semestinya karena militer yang bertugas di Aceh seringkali melakukan tindakan main hakim sendiri. Kasus ini merupakan cermin ketidakkonsistenan antara perbuatan dan perkataan tentara. Meskipun Aceh bukan lagi DOM, korban di kalangan sipil dan militer masih terus berjatuhan. Militer dan polisi belum berhenti melakukan tindakan represif dan pembunuhan. Aksi itu masih terus berlangsung hingga tahun 1998.

4. Peristiwa 27 Juli 1996
Peristiwa ini berawal dari kemenangan Megawati Soekarnoputri pada Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (KLB PDI) di Surabaya pada 1993. Kemenangan Megawati adalah ancaman bagi rezim Orde Baru. Maka dilakukanlah segala rekayasa politik untuk dapat kembali menahtakan Soerjadi sebagai ketua PDI yang kemudian ditindaklanjuti dengan aksi pengambilalihan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Penyerbuan yang dilakukan oleh militer, sejumlah preman, dan aparat kepolisian menyebabkan lima orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang dinyatakan hilang. Peristiwa itu berlanjut dengan diburu dan ditangkapnya aktivis PDI serta PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang dianggap telah melecehkan presiden sehingga mereka dituntut dangan undang-undang anti-subversif. Motif politik dalam kasus ini sangat jelas. Bahkan dalam pengakuan ketua PDI, Soerjadi, dikatakan bahwa penyerbuan dilakukan oleh Brimob dan TNI yang berpakaian PDI.

5. Peristiwa Trisakti 1998
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Yang menjadi catatan buram dari peristiwa ini ialah kasus penembakan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan yang berkibat pada meninggalnya empat mahasiswa Trisakti ditambah dengan puluhan korban luka-luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

Latar Belakang
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, imbas dari krisis finansial Asia. Krisis finansial Asia Tenggara dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah. Upaya yang lain yakni dengan memperketat kebijakan fiskal. Pada Oktober 1997, Indonesia dan IMF mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti hingga pada akhirnya Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Jalannya peristiwa.
Mahasiswa melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Massa yang berkumpul sebanyak 6000 orang. Mereka bertempat di depan mimbar.
Aksi mimbar bebas dimulai dengan penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas yang kemudian dilanjutkan dengan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia. Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan, maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar. Massa mulai memanas ketika beberapa aparat keamanan datang tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang), menuntut mereka untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan agar berkenan menyampaikan aspirasi ke anggota MPR/DPR. Massa menanggapi dengan berjalan menuju pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman. Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang). Massa dihimbau untuk tertib dan terus berbaris. Pintu gerbang dibuka. Massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar. Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan. Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A. Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Saat negoisasi berlangsung, massa berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak, massa yang terus bertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas. Massa semakin kuat dengan bergabungnya masyarakat di samping long march.
Tim negoisasi kembali untuk menjelaskan hasil negoisasi. Disampaikan bahwa long march tidak diperbolehkan dengan alasan memungkinkan terjadinya kemacetan lalu lintas dan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksi tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak, pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat. Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk. Massa duduk, dilanjutkan dengan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakarta Barat. Situasi tenang. Tidak ada ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara itu, rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Saat itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
Negoisasi wakil mahasiswa dengan komandan sebagai upaya untuk menghubungi MPR/DPR (Dandim dan Kapolres) terus berlanjut. Sementara itu, di sisi lain mimbar terus berjalan dengan diselingi teriakan yel-yel maupun nyanyian. Walaupun hujan turun, massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut. Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Dekan FE dan Dekan FH Trisakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
Pihak kemahasiswaan mengadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Secara tertib dan perlahan-lahan, mahasiswa membubarkan diri, meninggalkan arena demonstrasi untuk menuju kampus.
Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan. Demikian pula aparat. Namun, tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT, serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur, massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing, baik massa mahasiswa maupun aparat, mundur bersamaan.
Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan menertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Trisakti.
Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan membabi buta, pelemparan gas air mata di hampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet di pinggang sebelah kanan.
Tak berselang lama, datanglah pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus. Sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Aparat lain mengejar massa mahasiswa sambil menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan mereka tergeletak begitu saja di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
Sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dengan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri). Tembakan ke arah mahasiswa di dalam kampus pun terluncur. Korban tewas dan luka-luka banyak berjatuhan. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus sebanyak tiga orang. Satu orang lainnya meninggal di rumah sakit. Beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Mereka dilarikan ke RS Sumber Waras.
Dari luar gerbang, aparat terus melancarkan tembakan. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus. Ketika tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban untuk diamankan sebelum dirujuk ke RS.
Rekan mahasiswa kembali panik karena melihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla. Lampu segera dipadamkan untuk membantu mengamankan persembunyian.
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani keluar dari ruangan. Terjadilah dialog Arthur Damanik-Dekan FE untuk memastikan pemulangan mahasiswa ke rumah masing- masing. Hasil yang disepakati ialah bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman. Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya berjatuhan, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru-Hara Kodam, serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 WIB, dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.

6. Peristiwa Semanggi I
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
Latar belakang dan kejadian
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dengan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa kembali bergolak karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta menuntut pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998. Dwifungsi ABRI/TNI ditentang. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa, masyarakat bergabung dengan mahasiswa yang setiap harinya melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini menarik perhatian sangat besar dari seluruh warga Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. Sehari setelahnya, ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala arah -Semanggi-Slipi-Kuningan- tetapi tidak ada yang berhasil menembus gedung itu dikarenakan ketatnya pengawalan tentara, Brimob dan Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Puluhan mahasiswa harus segera dibawa ke rumah sakit, salah satunya ialah Lukman Firdaus. Karena terluka berat, beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Keesokan harinya, Jumat, 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung. Mereka mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari. Pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang. Sekitar pukul 15.00 WIB, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa. Masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung sekaligus merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya. Peluru bersarang di dadanya saat dia berupaya menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya. Mulai pukul 15.00 hingga dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, penembakan ke arah mahasiswa di dalam kampus dan massa di sekitar Semanggi terus berlangsung. Korban tewas dan luka-luka semakin banyak berjatuhan. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan. Aparat menyambut mereka dengan peluru dan gas air mata.
Jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pamswakarsa, dan 3 warga masyarakat. Korban luka-luka sebanyak 456 yang sebagian besar disebabkan oleh tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan, dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun yang terkena peluru nyasar di kepala
7. Peristiwa Semanggi II
Pada 24 September 1999, Bangsa Indonesia harus kembali mengucurkan air mata. Untuk kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa yang mengkritisi jalannya pemerintahan. Lokasi penembakan mahasiswa terjadi di tempat yang sangat strategis yang dapat dipantau oleh banyak orang awam, yaitu di bawah jembatan Semanggi, depan kampus Universitas Atma Jaya, dekat pusat sentra bisnis nasional maupun internasional.
Kala itu ada pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk bertindak mengamankan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Peristiwa itu menjatuhkan satu korban meninggal, Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia.

Kesimpulan
Permasalahan HAM bagi TNI merupakan hal baru.Pemahaman demikian membuat kasus-kasus pelanggaran HAM berat mendapat sorotan tajam dari masyarakat Internasional. Ketika terjadi kasus Santa Cruz di Timor Timur, pihak internasional menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM. Demikian pula saat terjadi pembunuhan terhadap aktivis buruh perempuan bernama Marsinah, seorang wartawan Bernas, kasus Kedungombo, penembakan yang terjadi pada kasus Waduk Nipah, Tanjung Priok, 27 Juli 1996, dan DOM di Aceh. Sikap pemerintah RI terhadap kasus-kasus di atas tidak pernah tegas.
Selain yang telah disebutkan di atas, TNI mempunyai citra buruk lain, seperti pelanggaran hukum menyangkut uang palsu, penyelundupan BBM, kasus narkoba, dan kasus peledakan bom di BEJ.
Citra TNI perlu dibenahi dengan melakukan reposisi, reaktualisasi, dan redefinisi atas peran politiknya melalui penataan struktural dan kultural. Pembenahan tidak dimotori faktor internal (dalam tubuh militer), tetapi juga menyangkut faktor eksternal dalam hal ini ialah pemerintah sipil. Kemampuan sipil dalam menata diri, mentaati hukum, dan membebaskan pelaksanaan hukum dari intervensi penguasa mutlak harus dilakukan. Kesederajatan semua orang di mata hukum harus terjamin demi perbaikan semua kelompok. Dengan demikian, militer akan bisa menjadi lembaga yang profesional dan mengikuti aturan main sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2 responses to “Peran Militer dalam Konflik Masa Orde Baru

Tinggalkan komentar